26 Menit untuk Buta Aksara

Hari itu adalah hari sabtu, dimana saya harus bangun lebih pagi dari biasanya karena jarak tempuh ke sekolah yang akan dikunjungi hari itu terbilang paling jauh dan menantang medannya. Saya merasa sedikit kesal pada waktu bangun pagi dan menyadari bahwa saya harus bekerja di hari sabtu, hari dimana biasanya saya habiskan dengan lay down di tempat tidur menikmati musik, merefleksi diri, nonton dan makan makanan kesukaan dan sejumlah aktivitas kamar lainnya yang menyenangkan. Namun hari ini menjadi sekian sabtu pagi yang tak aku sukai karena harus bekerja.

Akan tetapi saya juga harus jujur bahwa pada waktu bangun pagi saya begitu bersemangat bercerita ke Tuhan dalam doa bahwa hari ini perjalanannya akan sangat menantang namun saya akan membantu seseorang disana untuk skill mengajarnya menjadi lebih baik lagi. Dibagian ini saya merasa betapa hidup saya yang masih muda ini bisa bermanfaat bagi orang lain dan ini merupakan Satu alasan yang saya temukan di pagi ini untuk bersyukur.

Perjalanan ini pun dimulai pada pukul 7 pagi, dengan berkendaraan sepeda motor kami melewati jalanan aspal mulai dari pusat kota Tanjung dan perlahan mulai merangkak di jalan aspal yang lebih sempit ditengah-tengah rumah-rumah desa dan terus mengarah ke pegunungan yang mulai sepi dari pemukiman penduduk, dimana yang terlihat hanyalah deretan pohon pisang dan kakao. Selang beberapa menit kemudian, kami mulai bertemu dengan jalan yang penuh kerikil dan tak nyaman untuk dilewati kendaraan.

Saya bergumam, “sebentar lagi akan sampai di rumah pengepul pisang“. Rumah yang tak berbentuk itu yang akan menjadi tanda 26 menit yang menggoncang adrenalin dan siap berpacu dalam maut. Saya akan menerjang maut melewati jalan yang tak nyaman ini untuk menolong seorang guru disana yang harus mantap dalam penerapan kurikulum untuk mengentaskan buta huruf di kelas dasar sekolah mereka.

Perjalanan ini harus menyusuri tebing yang terjal berkedalaman ratusan meter. Menunduk di bawah pohon-pohon kakao agar tidak tersangkut, merupakan satu skill tambahan yang harus di miliki dalam perjalan ini. Semakin ke dalam, jalanannya makin terjal dan licin, namun itu bukan akhir karena selama beberapa menit lagi rute harus melewati jalan yang membuat siapapun yang melewatinya selalu memohon perlindungan Tuhan. Kenapa? karena sepanjang beberapa menit setelah melewati jembatan kecil yang tak ada pembatas pada sisi-sisinya itu, sepeda motor akan membawa saya melewati jalan tanah liat yang longsor. Disini kita seolah sedang berjalan dibawah tiris rumah lopo. Dimana di atasnya ada batu berukuran satu rumah dan pohon-pohon kelapa berjejal disana, tanahnya terlihat begitu rapuh, jika hujan datang dari atas tanah mulai berjatuhan, kerikilpun ikut serta sehingga akan menutupi jalan melingkar yang ada di bawahnya. Buah kelapa juga menjadi ancaman tersendiri jika jatuh pada saat kita lewat dibawah, yang lebih menyeramkan adalah batu berukuran raksasa yang seolah masih di pegang kuat oleh Tuhan di atas gunung itu jika terlepas. Maut bisa terbayang dengan jelas di titik ini, karena itu bulu kuduk selalu berdiri ketika tiba disini.

Setelah melewati bagian sulit ini, kami akan melewati jalan seperti yang tergambar di awal dengan model jalan menanjak, namun setelah ini rumah pertama bisa ditemui disini artinya sebentar lagi akan tiba ke alamat tujuan. Tempat dimana saya akan bertemu dengan ibu Rusmiyati, guru hebat yang telah 12 tahun mengabdi sebagai guru honorer. Seorang perempuan yang saban hari melewati 26 menit menegangkan ini untuk melaksanakan tugasnya. Seorang pahlawan pendidikan pedalaman yang masih tak dihargai oleh negara sehingga tak kunjung di PNS kan. Entah harus menunggu berapa tahun lagi baginya untuk bisa menerima gaji setiap bulannya. Sayapun tidak mengetahui kriteria apalagi yang masih dibutuhkan untuk memanusiakan guru yang telah mempertaruhkan nyawa untuk memanusiakan anak desa?

Ibu Rusmiyati

Hari itu aku menjumpai dia sedang dalam keadaan kurang sehat namun tetap mengajar, dikelas kuamati kepiawaiannya dalam mengajar anak-anak menggunakan kurikulum yang sudah kami latih, sesekali kucatat beberapa hal yang masih harus diperbaiki olehnya. Aku tersenyum dari posisi dudukku tatkala kulihat ada teknik yang tak kami ajar namun itu begitu efektif saat dipakainya. Inilah yang disebut “sembari mengajar orang lain sembari bakul ilmu kitapun ditambahkan”. Kini 26 menit perjalanan itu aku lupakan sejenak karena melihat apa yang terjadi di ruang kelas ibu Rusmiyati.

Ah…aku telah mengambil 26 menit menegangkan di perjalanan agar bisa membantu seorang guru sehingga buta aksara di sekolahnya bisa dibersihkan. Dan aku harus menjalani 26 menit yang sama untuk bisa pulang dan beristirahat.

Salam Pendidikan untuk semua guru pedalaman di Indonesia!

Dari Pengagum Kalian (NM)

Leave a Reply

Shopping Cart
%d bloggers like this: