
Pagi-pagi saya harus menyiapkan set buku yang harus di serahkan ke sekolah yang akan saya kunjungi hari ini. Saya memastikan sekali lagi jika semua buku yang harus di berikan semua sudah berada dalam tas berwarna hijau tersebut.
Tapi keberangkatanku pagi ini tidak bisa langsung menuju ke sekolah karena harus mampir terlebih dahulu ke lokasi dimana ada guru yang akan di training. Saya mengantarkan bahan-bahan dan memberikan instruksi serta memastikan bahwa junior trainer saya sudah bisa menjalankan hal tersebut tanpa pendampingan saya selama beberapa jam.
Pada akhirnya jam 8 pagi saya bisa meninggalkan lokasi training menuju salah satu sekolah swasta yang menjadi mitra kami.
Perjalannya terbilang jauh, ojek langganan membawa saya melewati hutan kakao, perkebunan kelapa, perkebunan kopi, dan hutan pisang yang selalu di temui di sisi-sisi jalan.
Ini adalah kunjungan ke 5 saya ke lokasi ini, perasaan takut memenuhi hati ketika melewati jalan-jalan yang rusak dan yang tak berpenduduk. Kadang-kadang dalam jarak sampai 5 kilometer tak menjumpai satu rumah penduduk pun.
Di jalan-jalan seperti inilah saya selalu berdoa memohon perlindungan Tuhan, memohon Tuhan menjaga hati si tukang ojek untuk membawa saya dengan sepeda motornya dengan selamat. Tatkala media dalam negeri sibuk menyoroti kasus perempuan muda yang di perkosa dan di bunuh dengan tragis di kabupaten OKI-Sumatera Selatan, pada saat seperti inilah saya harus melewati jalan-jalan seperti ini sendirian bersama si tukang ojek.
Karena itu saya tidak bisa memungkiri bahwa ketakutan memenuhi hati saya. Apalagi saya adalah orang baru di daerah ini, bahasa daerah mereka saya belum bisa sama sekali. Tidak ada orang yang saya kenal selain para kepala sekolah dan guru dari sekolah mitra . Maka rasanya sangat manusiawi jika ketakutan selalu menyelimuti saya ketika harus berada di perjalanan dengan medan seperti ini.
Untuk mencapai sekolah tujuan kami harus melewati tanjakan sehari (tanjakan sejelo dalam bahasa Sasak), tanjakan yang begitu tajam dan berkelok-kelok. Di beberapa bagian jalan saya harus turun dan membiarkan motor di kendarai kosong tanpa penumpang oleh si tukang ojek.
Saya bisa mengerti alasan mengapa penduduk lokal menamai jalan ini tanjakan sehari, karena memang sangat butuh perjuangan untuk melewatinya.
Di salah satu bagian di mana saya harus turun, saya berdiri dan berbicara kepada Tuhan “apa maksudmu membawa saya kesini”. Saya membalikkan tubuh ke arah barat tampak sungai yang mengalir begitu deras di dalam tebing yang sangat curam. Dalam hati saya berkata “Tuhan Engkau luar biasa!” saya tersenyum dan kembali memantapkan langkah menaiki jalan tanjakan itu.
Saya berjalan sambil berharap bahwa ada warga lokal yang bisa saya temui, siapa tahu dengan bertegur sapa rasa takut itu bisa berkurang. Tapi sayang sekali sampai ke puncak tanjakan, saya tak berpapasan dengan seorang pun.

Namun sebelum saya kembali naik ke motor lagi, di tepi jalan itu ada sebuah rumah bambu dan ada seorang anak kecil berusia kira-kira di bawah 4 tahun. Dia melambaikan tangan dan tersenyum kepada saya. Saya membatalkan niat untuk naik motor, berlari kecil ke pinggir jalan itu dan menyalami anak itu. “selamat pagi!” dia tersenyum dan menyalami saya juga dan dalam hitungan detik dia berlari kecil menuju pintu rumahnya meninggalkan saya.
Saya kembali untuk menaiki motor untuk melanjutkan perjalan ke sekolah, dalam hati saya berkata “Tuhan, ini cukup menghibur saya, ini membuat saya menjadi tenang”, saya siap menjumpai guru sekarang tanpa ada gejolak rasa takut di hati lagi.
Bagi saya begitu sederhananya cara Tuhan menghapus rasa takut yang saya miliki dalam cara yang sama sekali tidak saya duga.
Bukankah Tuhan sering melakukan hal itu kepada semua orang?
Pingback: 3 Hal Mengerikan yang Terjadi Selama di Lombok – Stories