Haruskah Semua Adat Istiadat di Indonesia Dipertahankan?

Saya begitu bangga lahir sebagai orang Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya yang begitu mengagumkan. Saya sendiri lahir dengan campuran darah Timor dan Rote sehingga membuat saya begitu kaya akan adat istiadat karena dapat memahami secara dekat dua budaya yang berbeda.

Sejak kecil saya dikelilingi oleh budaya dari suku kedua orang tua saya, salah satu yang begitu kuat diterapkan dirumah kami adalah budaya saat menyuguhkan minuman atau makanan bagi tamu, kami tidak akan berjalan tegak tetapi membungkuk bahkan berjalan sambil setengah berlutut saat membawa sajian bagi tamu yang datang dirumah kami. Kelak ketika sudah beranjak dewasa saya mengetahui bahwa tradisi di rumah saya ini mirip di keraton.

Dan masih ada sejumlah tradisi budaya yang di junjung tingga dan pegang kuat oleh kedua orang tua saya. Sehingga ketika berusia layak untuk bisa berpendapat di depan orang tua dan keluarga, saya kemudian menentang beberapa aturan di rumah dan keluarga yang menurut saya tidak pantas dan tidak layak dilakukan lagi karena memberatkan atau menyulitkan. Salah satu yang mulai berkurang diterapkan adalah budaya yang saya singgung di awal tadi. Karena itu tidak jarang soal ini, sering ada perdebatan dan adu argument antara saya dengan orang tua atau bahkan keluarga besar karena beberapa keputusan saya yang kontras dengan budaya lokal kami.

Saya tidak mengatakan bahwa apa yang saya pribadi lakukan adalah seutuhnya benar, tentu ada juga langkah salah dalam keputusan ini. Namun saya sering berbicara bahwa “tidak semua budaya harus dilestarikan, tidak semua budaya harus dipertahankan sampai mati” karena manusia sedang hidup berproses dengan zaman dan budaya yang mengikutinya.

Salah satu budaya yang saya tidak setujui sampai hari ini adalah budaya mas kawin (belis) dari tradisi ibu saya (Rote) yang begitu mahal. Mas kawin yang ditetapkan bisa sampai ratusan juta rupiah dan juga acara pesta pernikahan yang menelan biaya sampai ratusan juta. Namun setelah acara yang begitu meriah dan gemerlap, pasangan pengantin baru ini di hadapkan dengan “buku hutang” yang harus mereka lunasi sepanjang umur hidup mereka. Buku ini adalah daftar pemberian family, keluarga dan handaitoulan yang memberikan uang ataupun barang untuk mencukupkan biaya nikah dan mas kawin yang mereka butuhkan tadi.

Karena itu setelah pernikahan itu terjadi pasangan yang baru menikah ini sulit menata keuangan keluarga untuk rencana masa depan mereka sendiri, seperti untuk biaya pendidikan anak kelak ataupun sejumlah rencana keuangan yang harusnya dari awal pernikahan sudah dipersiapakan sehingga terbangun kesejahteraan secara ekonomi. Tetapi pasangan yang baru menikah ini harus bekerja keras sepanjang hidup mereka untuk mengumpulkan uang agar bisa membayar semua hutang-hutang yang ada di buku hutang yang mereka punya itu.

Bayangkan saja, betapa payahnya mereka akan berjuang. Betapa mengerikannya kehidupan pernikahan mereka dengan lilitan hutang karena adat budaya yang harus dilakukan. Bagaimana dengan pendidikan anak-anak mereka? ada berapa banyak anak yang tidak bisa berpendidikan tinggi atau tidak bisa sekolah karena orang tuanya tidak bisa membiayai, sebab semua penghasilan dipakai untuk membayar hutang tadi. Bagaimana dengan kecukupan ekonomi mereka sehari-hari? bagaimana dengan stres dan depresi yang mereka terima dan alami dalam hari-hari hidup mereka? ada berapa banyak kekerasan dalam rumah tangga yang tercipta karena hal ini? ada berapa banyak lingkaran kemiskinan yang terus di bangun karena budaya ini? ada berapa sikap sombong dan keegoisan yang terus dibangun dalam diri manusia karena ini?.

Itulah semua dasar pemikiran mengapa saya benar-benar tidak setuju dengan tradisi belis atau mas kawin dan model pernikahan berdasarkan tuntutan adat dari suku ibu saya.

Karena itu saya berpikir bahwa di Indonesia, di setiap suku ada budaya adat yang layak di evaluasi penerapnnya lagi. Seharusnya semua generasi modern yang sudah berpendidikan di Indonesia layak untuk mengevalusi semua keganjalan yang ada di dalam budaya masing-masing sehingga proses pembangunan manusia bisa terus berjalan dengan baik menuju Indonesia maju dan sejahtera. Dan sekiranya semua budaya positif yang ada di dalam setiap suku marilah bersama kita bergandengan tangan untuk melestarikannya untuk generasi masa depan kita.

Tak usah lagi karena adat perempuan didiskriminasi haknya dan menjadi manusia tak terpandang dan tak memiliki nilai, tak usah lagi karena adat ada banyak anak yang kehilangaan masa depannya. Tak usah lagi karena adat dua sejoli yang jatuh cinta dipisahkan. Tak usah lagi karena adat Tuhan di nomor duakan yang penting adat dijalankan. Tak usah lagi ada sederet keputusan yang menggangu hati nurani terus dilakukan karena adat. Marilah berbenah, marilah ber-evaluasi.

Bagi saya biarlah Indonesia terus menjadi negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan adat istiadat. Namun jangan pernah biarkan ada adat istiadat yang merong-rong dan membunuh manusia yang menganut dan melestarikannya. Biarlah Indonesia terus menjadi negara yang berbudaya namun jangan pernah biarkan budaya sebagai penghambat kemajuan. Biarlah Indonesia terus memiliki ciri khas yang terbangun melalui kumpulan adat budaya yang khas dari Sabang sampai Merauke dari Nias sampai Pulau Rote namun jangan pernah biarkan budaya-budaya itu mengumpulkan cerita-cerita kasus miris yang merampas hak asasi, keharmonisan rumah tangga apalagi menghambat laju perkembangan bangsa.

Leave a Reply

Shopping Cart
%d