
Budaya makan sirih pinang (Bahasa Dawan: puah manus) adalah warisan turun-temurun orang Timor yang masih teguh dilakukan sampai hari ini. Karena itu makan sirih pinang sudah menjadi bagian dari beberapa kegiatan adat yang ada di Timor, seperti di upacara pernikahan, upacara kematian dan lainnya.
Namun sayangnya, sayapun melihat adanya fakta miris dari kebiasaan ini, dimana mereka yang sudah kecanduan makan sirih pinang ini selalu bela-belain untuk membelinya meski harga dari benda-benda ini menjadi terbilang mahal padahal secara ekonomi yang memakannya sedang mengalami kesulitan keuangan.
Sehingga ada fakta dimana tidak masalah makan tanpa lauk asalkan uang yang ada dipakai untuk membeli sirih pinang.
Beberapa orang tetangga kami yang begitu kecanduan makan sirih dan pinang mengatakan bahwa bagi mereka tidak masalah kalau tidak makan nasi asalkan tetap makan sirih dan pinang, karena itu mereka rela menghabiskan puluhan ribu rupiah setiap hari untuk bisa mengkonsumsi hal ini sepanjang hari.
Ada juga fakta dimana ibu-ibu yang memiliki balita tidak memprioritaskan membelikan susu dan makanan sehat untuk balitanya, namun uang yang dimilikinya lebih diutamakan untuk membeli pinang dan sirih untuk di kunyahnya sepanjang hari sedangkan balitanya dibiarkan makan tanpa lauk ataupun tidak minum susu.
Di bulan-bulan tertentu buah pinang dan sirih menjadi begitu langka karena itu harganya akan melonjak dua kali lipat dari biasanya. Namun bagi penikmat sirih pinang, semahal apapun mereka akan tetap membeli dan mereka akan berjuang mencari sampai dapat (biasanya akan sulit ditemukan saat musim langka) kadang-kadang pergi ke pasar tradisional yang jaraknya jauh hanya untuk membeli sirih dan pinang .
Beberapa kasus yang pernah saya tahu, ada suami dan istri menjadi berantem, hanya karena sirih pinang. Bayangkan saja sirih pinang menjadi pemicu keributan dalam keluarga.
Sayapun pernah mengetahui satu peristiwa dimana seorang laki-laki rela memiliki hutang hanya karena harus membeli sirih dan pinang setiap hari.
Sepengalaman saya juga di beberapa area perkantoran di Timor ada hiasan cipratan-cipratan noda merah dari ludah makan sirih pinang di tembok perkantoran atau di halaman perkantoran (karena makan sirih pinang menghasilkan ludah menjadi berwarna merah). Bahkan ada waktu istirahat yang dibuat untuk para pegawai itu akan beramai-ramai makan sirih pinang karena itu akan bersama-sama meludah di sembarangan tempat sehingga bekas-bekas ludah merah yang di buang sembarangan itu memberikan kesan jorok.
Bagi saya, sekalipun ini adalah budaya kearifan lokal yang memberikan ciri khas bagi suku Timor namun saya tidak setuju dengan semua kisah miris yang lahir akibat terus mempertahankan kebiasaan ini tanpa memikirkan unsur prioritas dan juga unsur estetika.
Saya tetap berharap bahwa budaya ini tetap menjadi bagian dari setiap upacara adat dari suku Timor yang memberikan ciri khas bagi suku ini, namun saya tetap tidak menyetujui dilakukan dengan memaksakan diri dan tidak mempertimbangkan faktor kebersihan area umum.
Bukankah hal ini berlaku untuk semua kebudayaan? dimana ada yang sangat tetap ingin di pertahankan namun ada juga yang perlu di evaluasi pelaksanaannya di jaman modern ini.