Aku Membiarkan Diriku di Desa

Berbicara tentang hidup di desa, barangkali ada yang begitu menyukainya, namun ada juga yang tidak. Tentu semuanya memiliki alasan tersendiri.

Sayapun beberapa hari ini terus bertanya pada diri sendiri dan Pencipta, haruskah saya menetap di desa? jika ini hanya sementara, maka durasi berapa lama yang Pencipta inginkan?

Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah kehidupan yang mudah, tapi juga saya tidak dapat menyimpulkan bahwa ini sangat sulit.

Entahlah, tapi di desa ini saya harus banyak merendahkan hati, membunuh ego, menahan diri dan belajar sabar.

Di desalah saya sedang diijinkan untuk melihat lagi tentang keperluan orang-orang yang tak beruntung secara ekonimi. Didesa ini juga saya harus belajar menutup mulut untuk tidak cepat menyampaikan opini, tetapi diam dan melihat keadaan lebih utuh.

Mimpi untuk mengisi diri dengan belajar terus dibatasi oleh banyak alasan, yang umumnya demi kepentingan orang lain. Ego diri untuk bersinar, seolah harus di kuburkan perlahan.

Tersungkur berlutut dan bertanya kepada Tuhan, mengapa saya harus di desa? mengapa saya harus di tempat dengan akses yang sulit? mengapa kesempatan untuk bekerja menghasilkan uang bagi diri sendiri begitu tertutup?

Haruskah saya berdiam saja didesa?haruskah saya disini terus? harapanku semoga Maret ini berbaikan dengan diriku sehingga ada petunjuk yang jelas.

Saya tahu bahwa saya bukan seorang yang mudah menyerah dengan kehidupan, namun berada di desa hanya semata untuk kepentingan menjawab panggilan hidup.

Setiap hari jantung berdetak dengan harapan untuk perubahan kehidupan orang lain, setiap hari pikiran penuh dengan pertanyaan bagaimana memberikan kontribusi bagi mereka yang sedang membutuhkan.

Tuhanku, ini tidak mudah untuk dilewati karena itu mampukanlah.

Perkenankan kekuatan-Mu mengalir di dalam diriku untuk menyelesaikan mimpi-Mu bagi mereka di desa. Sebab aku masih membiarkan desa menjadi rumahku sampai saat ini.

Leave a Reply

Shopping Cart
%d bloggers like this: